Perang Dagang AS vs RRC

Industri Kelapa Sawit Indonesia Justru Sangat Cerah 

Perang Dagang AS vs RRC

Industri Kelapa Sawit Indonesia Justru Sangat Cerah

BALI - Foreign Agricultural Services, USDA Chris Rittgers mengungkapkan, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) versus Republik Rakyat China (RRC) akan berdampak pada penurunan aktivitas ekspor-impor kacang kedelai. 

Sejak perang  dagang dimulai, China memboikot impor kacang kedelai dari Amerika lalu mengalihkan aktivitas impor mereka ke Brazil.  Pemerintahan China memprediksi akan terjadinya pengurangan impor kacang kedelai di tahun 2018-2019 dari 93.9 juta ke 83.7 juta ton.
 
“Kebijakan pengurangan impor kedelai tersebut mendorong pemerintah China untuk mencari alternatif  minyak nabati  lain. Dan sudah barang tentu, pilihannya jatuh kepada sawit di Indonesia,,” kata Chris dalam acara 14th International Palm Oil Conference (IPOC) 2018 and Price Outlook 2019 yang diselenggarakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) di Westin Resort, Nusa Dua Bali, Jumat (2/11) lalu.

Namun demikian, Chris memastikan, keputusan itu akan menekan harga kedelai. Sebaliknya justru memberikan keuntungan tersendiri bagi AS yaitu bertambahnya stok komoditas kedelai di tengah harga dan permintaan kacang kedelai yang semakin meninggi.

Pernyataan senada dikemukakan Dr. James Fry, Chairman dari LMC International, Oxford, UK. Fry menilai kebijakan Trump, memang sedikit mempengaruhi harga minyak kedelai, namun di sisi lain juga menekan harga CPO karena harga minyak bumi (Brent) ikut terkoreksi. 

Patokan utama dari harga CPO adalah Brent. Harga Brent yang menetapkan rentang perdagangan untuk minyak nabati di atas minyak mentah, serta tata cara penjualan palm methyl ester (biodiesel) sangat mempengaruhi CPO premium melalui tingkat stok minyak sawit. 

Namun demikian, Fry memastikan korban terbesar dari perang dagang yang dilakukan Trump adalah petani kedelai di Amerika. “Pendapatan mereka akan  berkurang hingga lebih dari 20%.” 

Hanya saja, pada satu sisi, petani juga diuntungkan karena harga kedelai di Amerika Selatan meningkat akibat berkurangnya panen di Argentina. 

Persoalannya kebijakan biofuel telah memperparah masalah di sektor kedelai dengan memotong mandat biofuel yang efektif, AS juga melakukan sanksi dan embargo terhadap tiga produsen minyak bumi terbesar, yakni Iran, Venezuela dan Rusia, hanya berdampak sedikit pada stok minyak mentah dunia. 

Hal ini berimplikasi pada harga minyak mentah yang diperkirakan turun lagi dari level yang sebelumnya. Ini  berarti produsen CPO harus berharap pada premium harga yang lebih tinggi untuk harga minyak sayur dibandingkan harga Brent.

Semenjak tahun 2007, harga minyak bumi telah menetapkan harga dasar bagi harga minyak sayur yang ada di EU. Empat kali semenjak tahun 2012, CPO Uni Eropa berada di harga dasar yang setara dengan harga Brent. 

“Faktor kunci yang mempengaruhi harga saat ini adalah siklus produksi kelapa sawit. Pertama kalinya setelah waktu yang lama, siklus output di Malaysia dan Indonesia tidak sesuai harapan.”ujarnya.

Hampir semua produsen besar mengikuti Malaysia dengan penurunan produksi yang terjadi dari tahun ke tahun. 

Sementara Indonesia menyumbang suplai sekitar 60% dari minyak sawit dunia, pertumbuhan Indonesia akan mengangkat output CPO dunia sebanyak lebih dari 4 juta ton. 

Faktor penentu utama dari premium harga CPO Uni Eropa yang melewati Brent adalah stok di Malaysia. 

Hal ini karena  MPOB (Malaysian Palm Oil Board) telah mempublikasikan data terpercaya dalam jangka waktu 10 hari. Premium harga dan stok berjalan pada arah yang berbeda. (hendrik)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar